Jumat, 02 Oktober 2009

Perampokan 1,5 Miliar di Bima Buana


Seluruh mobil berkelir hitam yang ingin keluar kompleks disetop petugas. Namun petugas keamanan sama sekali tidak melihat wajah asing di balik kabin kendaraan. Yang ada hanyalah wajah warga kompleks yang sudah familiar selama ini.

Pukul 8 pagi, 3 Agustus 2009, Perumahan Dukuh Bima, Tambun Selatan, Bekasi, tampak lengang. Yang terdengar hanya bunyi gesekan angin. Sesekali senyap dipecah kokok ayam menyambut matahari. Sebuah mobil Kijang menepi di salah satu cluster perumahan. Cluster Bima Buana XV Nomor 3.

Tiga orang laki-laki kemudian keluar dari kabin mobil keluarga itu. Robi, Adul, dan Widodo. Mesin Kijang dibiarkan masih menyala. Seorang laki-laki lagi berada tetap di belakang kemudi. Tiga laki-laki itu melangkah tenang. Seperti tak menghiraukan angin yang semakin menipis dan terik surya yang mulai membakar. Jarum jam hanya bergeser lima menit kemudian.

Tiga laki-laki itu mengenakan over all, busana ala teknisi. Robi dan Widodo melenggang sigap dengan tangan kosong. Sedangkan Adul sedikit kesulitan lantaran menenteng sebuah tool box. sesekali terdengar bunyi perkakas berbenturan dengan dinding kotak itu. Langkah mereka terhenti. Pagar rumah yang mereka inginkan itu tertutup rapat dan terkunci.

Robi melirik sebuah tombol bel yang terpejit di antara jeruji pagar.
Tet….tet… bunyi bel dipencet Robi.
Tapi rumah masih senyap. Tak ada yang menyahut dari dalam.
“Permisi,” ujar Robi dengan nada sedikit tinggi.
Lagi-lagi, masih tak ada orang yang keluar dari dalam rumah.
Belum sempat jari Robi ingin meraih tombol bel lagi, seorang perempuan setengah baya membuka pintu rumah dan menghampiri mereka. Perempuan itu bernama Nasah. Dia pembantu di rumah itu.

Robi melepas senyuman sambil menyapa, “Selamat pagi Bu”
“Pagi, siapa ya?” balas Nasah dengan gelagat bingung.
“Kami tukang yang diminta Bapak membetulkan pintu kamar mandi,” timpal Robi.
Nasah sesaat terdiam. Dia mencoba melayangkan pikiran ke pintu kamar mandi.
“Masa iya rusak?” batin dia. Sayang, ingatannya saat itu samar. Sempat terpikir kembali masuk untuk mengecek pintu kamar mandi. Tapi niat itu terhenti oleh tindakan Robi.

“Iya Pak..kami sudah di rumah Bapak,” ujar Robi berbicara lewat ponsel.
“Bapak sudah berangkat kerja ya? Kalau gitu baik deh Pak. Segera kami betulkan pintunya,” ujar Robi lagi.
“Itu Pak Abdul Haris,” kata Robi sambil memberi isyarat nama orang di ujung telepon tadi kepada Nasah.
Mendengar nama Abdul Haris, Nasah langsung bergeming. Ia tak berani lagi banyak bertanya kepada tamu misteriusnya itu. Pasalnya Abdul Haris adalah nama tuannya.

Mesin Kijang dimatikan sang sopir. Suasana semakin senyap. Nasah pun buru-buru membuka gembok pagar. Satu halangan berhasil dilangkahi tiga laki-laki itu. Langkah mereka sudah sampai di mulut pintu rumah. Pupil mata Adul dan Widodo tampak membesar. Sorotnya awas menyapu seluruh sisi rumah dua lantai itu. Melihatnya, Nasah mulai merasakan hal yang ganjil. Degup jantungnya kian kencang. Tapi dia coba menafikan.
“Kamar mandinya sebelah mana,” kata Robi.
“Di belakang Pak..mari,” ujar Nasah sambil mengajak mereka ke arah belakang.

Tinggal setapak jarak kamar mandi itu. Tiba-tiba Nasah merasa sulit bernapas. Kepalanya terasa berat. Dia baru menyadari sebuah lengan besar memiting lehernya dari belakang. “Jangan macam-macam kamu!” bentak Widodo.
“Rampok,” batin Nasah. Dia pun lemas. Keringat dingin dan tak berani melawan.

Dengan sigap Adul membuka kotak peralatan yang ditentengnya. Sebuah lak ban hitam dan pisau dikeluarkannya. Tangan dan kaki Nasah dijerat. Mulutnya disumpal kain. Pembantu itu kemudian dilempar ke dalam kamar mandi dan dikunci.

Tiga sekawan tampaknya tahu apa yang diinginkan. Mereka langsung berlari menuju lantai dua. Kamar tidur Abdul Haris. Di sana, sebuah lemari kayu kokoh menyambut mereka. “Ini dia lemarinya,” ujar Robi.

Adul dan Widodo mengeluarkan obeng. Pintu lemari disungkit. Jebol. Dua kotak kayu tampak tergeletak di alas lemari. Kotak-kotak harta keluarga Haris. Isinya menggiurkan. Uang tunai senilai 100 ribu dollar AS dan 4,5 juta rupiah, 6 jam tangan mewah, tiga ponsel Blackberry, laptop, kamera digital, dan handycam. Seluruhnya bernilai 1,5 miliar rupiah.

Dalam tempo 15 menit, tiga sekawan keluar rumah sambil menggondol harta. Pelarian itu disambut mesin mobil Kijang yang sudah di-starter. Mereka melompat ke kabin. Gas diinjak, mobil melesat membelah kesunyian jalan.

Razia Mobil
Nasah masih berjibaku dengan belenggu. Dia meronta berkawan hawa dingin kamar mandi. Entah berapa kali dia meronta. Berusaha melepas jerat plester yang mengikat tangannya. Sampai belenggu itu akhirnya melar dan terlepas. Lalu, dia mendobrak pintu kamar mandi itu dan berlari ke luar. Tak terpikir untuk memeriksa harta tuannya di rumah. Yang terpikirkan Nasah saat itu, hanyalah mencari bantuan.

Dari kejauhan Nasah melihat Sutadi yang mengendarai sepeda motornya. Pembantu ini histeris melambaikan tangannya. Laki-laki petugas keamanan kompleks ini merasa ada yang tidak beres dengan Nasah. Gas motor pun diangkatnya.
“Ada apa Bu?” ujar Sutadi saat jaraknya mulai pendek dengan Nasah.
“Ada rampok, Pak..ada maling,” teriak Nasah tersengal-sengal.
“Mana?” timpal Sutadi ikutan panik.
“Udah kabur …pake mobil warna hitam,” balas Nasah.

Spontan Sutandi mencabut radio panggil di pinggangnya. “Ada rampok. Tutup semua gerbang Bima Buana,” perintah dia sambil berteriak. Sayang, kabar dari pos gerbang perumahan mengatakan bahwa palang gerbang macet. Tidak bisa diturunkan. Sutandi pun meminta berita diteruskan ke pos gerbang Perumahan Dukuh Bima. Kali ini portal berfungsi. Itu 30 menit pasca penyekapan Nasah.

Seluruh mobil berkelir hitam yang ingin keluar kompleks dihentikan petugas. Kemacetan kecil pun terjadi di jalan utama kompleks. Namun petugas keamanan sama sekali tidak melihat wajah asing di balik kabin kendaraan. Mereka tak lain adalah warga kompleks yang sudah familiar selama ini. Tapi pemeriksaan kendaraan tetap berlangsung.

Merasa aksi perampokan telah terendus, Robi cs memutar-mutar kendaraan di dalam kompleks. Usaha itu ternyata tidak mubazir. Gerbang cluster Bima Duta yang terletak di sisi kiri jalan utama kompleks menganga. Kijang itu melesat. Sempat seorang petugas keamanan melihat mobil mereka. Tapi petugas tak tergerak menyetop dan merazianya. Pasalnya, kelir bodi Kijang Robi cs berwarna cokelat, bukan hitam seperti yang informasikan sebagai kendaraan si perampok.

Pelarian semrawut Robi itu berakhir di sebuah jalan buntu. Ujung jalan itu ditutup tembok pembatas kompleks setinggi dua meter. Tapi bukan saatnya halangan itu meruntuhkan mimpi Robi cs. Toh ada sebuah tangga yang biasa dipakai warga Kali Jampe, kampung di balik tembok yang bekerja di Perumahan Dukuh Bima.
“Ayo…tinggalkan kendaraan. Kita berpencar!” ujar Robi.
Mereka pun memutuskan melompati tembok pembatas dan berhasil di area aman.
Kemudian mereka berpencar. Robi menyetop taksi. Sedangkan Adul dan Widodo menaiki ojek. Melalui ponsel, Robi kemudian mengontak Yuli, otak perampokan sekaligus bos mereka.
”Misi selesai. Kita berkumpul di sana,” ujar dia.

Tak genap dua jam kemudian. Robi cs tiba di tempat pertemuan yang dimaksud. Sebuah pemancingan yang berlokasi di Sawah Lama, Ciputat. Beberapa menit kemudian Yuli merapat. Mereka tak lama di sana. Membagi-bagikan jatah rampokan dan langsung berpisah.

Yuli mendapat bagian 10.000 dollar AS. sisanya dibagikan ke Robi, Adul, Widodo. Ada pula bagian sebesar 20.000 dollar AS untuk Tjatur Heru. Laki-laki inilah yang berperan sebagai pembuat rencana sekaligus informan tentang keberadaan harta-harta di rumah Abdul Haris itu. nala dipa/rangga prakosa

sumber koran-jakarta.com

Tidak ada komentar:

Masih Kosong Nih