Sabtu, 24 April 2010

ISTRI TETANGGA & AGAMA

ISTRI TETANGGA & AGAMA

Di milis ini kerap kita jumpai posting berbau agama. Atau perdebatan yang
menjurus pada perdebatan soal agama. Kadang perdebatannya begitu panas.
Sindir-menyindir atau ejek mengejek. Buat saya itu menyedihkan.

Saya teringat waktu lebih dari 15 tahun yang lalu belajar di Jogja.
Waktu itu,
tiap Rabu malam, saya dan teman-teman memilih nglurug ke patang puluhan,
rumahnya Cak Nun, ini panggilan akrabnya penyair dan kiai mbeling Emha
Ainun Nadjib. Kita bikin forum melingkar di situ. Biasanya kita bicara soal
kesenian atau kebudayaan, tapi juga ngobrolin soal keagamaan.

Forum itu diprakarsai oleh Sanggar Shalahuddin. Komandannya anak Solo,
Nasution Wahyudi. Ini nama asli Jawa, nggak ada hubungannya dengan Nasution
yang dari Medan . Pesertanya juga tidak cuma mahasiswa atau pemuda yang beragama
Islam.
Pendek kata, pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar disitu.

Suatu malam, Cak Nun tanya pada kami di forum itu.

"Apakah anda semua punya tetangga?"

Wah, saya sebenarnya belum punya. Tetapi saya anak kost, tentu saja kamar
sebelah saya bisa disamakan dengan tetangga. Tetangga kost. Jadi saya
ikut-ikutan saja menjawab : "Tentu saja punya".

Cak Nun melanjutkan bertanya : "Punya istri enggak tetangga Anda?"

Sebagian hadirin menjawab : "Ya, punya dong". Saya diam saja. Rasanya
tetangga kost saya bujangan semua. Kebanyakan jomblo. Maklum anak desa. Nggak
pede ngajak pacaran teman kampusnya.

Yang menarik adalah pertanyaan berikutnya : "Apakah anda pernah lihat
kaki istri tetangga Anda itu? Jari-jari kakinya lima atau tujuh? Mulus atau ada bekas
korengnya ?"

Saya mulai kebingungan. Nggak ngeh sama arah pembicaraan Cak Nun.

Kebanyakan menjawab : "Tidak pernah memperhatikan Cak. Ono opo Cak?"

Cak Nun ndak peduli. Dia tanya lagi : "Body-nya sexy enggak?"

Kami tak lagi bisa menahan tertawa. Geli deh. Apalagi saya yang
benar-benar tidak faham arah pembicaraan sang Kiai mbeling itu.

Cuma Cak Nun yang tersenyum tipis. Jawabannya bagus banget. Dan ini
senantiasai saya ingat sampai hari ini. Sebuah prinsip pergaulan untuk sebuah
negeri yang memilih Pancasila : "Jadi ya begitu. Jari kakinya lima atau tujuh.
Bodynya sexy atau tidak bukan urusan kita, kan ? Tidak usah kita perhatikan, tak usah
kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja".

"Kenapa cak?" salah satu teman bertanya, penasaran.

"Ya apa urusan kita ? Nah, keyakinan keagamaan orang lain itu ya
ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar
salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya
penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan
didalam hati saja".

Saya pun menangkap apa yang dia maksudkan. Saya setuju dengan
pandangan Cak Nun.

Dia melanjutkan serius : "Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan
itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau
meyakini bahwa Islam itu benar ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi
orang Islam, agama lain itu salah, justru berdasar itulah maka ia menjadi
orang Islam.
Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan
diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau
pertengkaran.

Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah
kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya
masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu
sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya. Dengan kata
yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan
masing-masing pada keyakinannya. "

Mengasyikkan. Saya kagum dibuatnya.

Cak Nun terus berkata : "Itu prinsip kita dalam memandang berbagai agama.
Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya
gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar
istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya
kehujanan, padahal waktunya mendesak, dia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU
maupun yang Muhamadiyah. Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan
tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga
Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya. Begitu. "

Kami semua terus menyimak paparannya.

"Jadi ndak usah meributkan teologi agama orang lain. Itu sama aja anda
ngajak gelut tetangga anda. Mana ada orang yang mau isterinya dibahas dan
diomongin tanpa ujung pangkal. Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga
berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama
di bidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi
koridor teologi masing-masing. "

"Kerjasama itu dilakukan bisa dengan memperbaiki pagar bersama-sama,
bisa gugur gunung membersihkan kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple
dan remi bersama. Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik,
kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Itulah lingkaran tulus hati dangan
hati.
Itulah maiyah," ujarnya.

Ketika mengatakan itu nada Cak Nun datar, nyaris tanpa emosi. Tapi
serius dan dalam. Saya menyimaknya sungguh-sungguh. Dan saya catat baik-baik
dalam hati saya. Sayangnya dunia memang tidak ideal. Di Ambon dan Palu, misalnya
saya lihat terlalu banyak orang usil mengurusi isteri tetangganya. Begitu juga di
berbagai tempat di dunia. Di Bosnia. Atau yang paling baru di Irak dan Afghanistan .
Akibatnya ya perang dan hancur-hancuran. Menyedihkan.
Sangat menyedihkan.

Tidak ada komentar:

Masih Kosong Nih