sumber : http://dahlaniskan.wordpress.com/2007/09/05/pengalaman-pribadi-menjalani-transplantasi-liver-11/
Saya pernah belajar ilmu mantiq (logika) sewaktu di Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran, Magetan. Pesantren keluarga kami sendiri. “Berdoa itu,” menurut ilmu mantiq, “pada dasarnya adalah memerintah Tuhan”. Misalnya, doa ini: Ya Tuhan, masukkanlah saya ke surga. Bukankah, menurut ilmu itu, sama dengan kita memerintah Tuhan agar memasukkan kita ke surga? Bukankah kata “masukkanlah” itu “kata perintah?”. Hanya, dikemas secara halus dalam wujud yang bernama doa? Mengapa kita selalu memerintah Tuhan untuk memasukkan kita ke surga? Mengapa tidak kita sendiri berusaha sekuat tenaga, misalnya, dengan jalan banyak beribadah (termasuk kerja keras)?
Ilmu inilah yang juga saya bawa ke praktik manajemen. Kalau ada karyawan yang sedikit-sedikit mengeluhkan atasannya, biasanya saya menasihatinya berdasar ilmu mantiq itu. Tentu sebelum mengucapkan kata-kata tersebut saya berpesan agar jangan membicarakan istilah saya ini dengan orang lain. Orang yang tidak pernah belajar ilmu mantiq bisa salah paham.
Kata saya kepada karyawan yang suka mengeluhkan atasannya itu: “Kita ini bisa dan sering memerintah…., mengapa memerintah atasan yang masih bernama manusia saja tidak bisa?” Takut juga saya mengisi “titik-titik” itu. Takut orang salah paham. Padahal, guru ilmu mantiq saya dulu, KH Hamim Tafsir, tidak pernah takut mengatakan apa adanya.
Saya lantas memanfaatkan ilmu mantiq itu dalam praktik manajemen. Intinya: seorang bawahan, kalau memang cukup cerdas, harus bisa membuat atasannya memenuhi keinginannya. Tidak harus selalu keinginan atasan yang berlaku. Semua itu tinggal soal cara. Soal kemampuan kita memanajemeni atasan. Kalau seorang bawahan tidak mampu melakukan itu, berarti bukan bawahan yang cerdas. Saya tidak akan menaikkan karir bawahan yang seperti itu. Jadi, bawahan itu sebenarnya juga boleh me-manage atasan. Bukan hanya atasan yang bisa me-manage bawahan. Sekali lagi, ini soal cara. Kepada Tuhan, kita menggunakan cara yang disebut berdoa. Kepada atasan, mungkin dengan gaya “bermohon atau minta petunjuk atau mengiba atau apa sajalah”. Yang penting, keinginan kita yang kita yakini benar bisa dipenuhi oleh atasan.
Banyak manajer saya yang kemudian tidak mudah mengeluhkan “ketidakmampuan atasannya”. Dia mencari jalan beraneka cara untuk mencoba bisa me-manage atasannya dengan bijak. Demikian juga tidak lagi banyak staf yang mengeluhkan rekan kerjanya. Mengeluh berarti tidak cerdas.
Bukankah kepada sesama rekan staf, kita bisa menggunakan gaya “minta tolong”. Bahkan, kepada bawahan pun kata “minta tolong” akan lebih efektif daripada kata “saya perintahkan” -meski atasan berhak memerintah bawahan. Jadi, kepada Tuhan kita berdoa, kepada atasan kita bermohon, kepada sesama kita minta tolong, dan kepada bawahan… teserahlah mau pakai yang mana. Tentu tidak pas kalau kepada bawahan Anda mengatakan, “Saya berdoa kepadamu mudah-mudahan engkau mau membersihkan kamar kecil itu lebih bersih lagi.” Tapi, saya sering juga menggunakan gaya ini kalau hati sudah amat jengkel melihat kamar kecil yang kotor.
Di kantor-kantor Grup Jawa Pos, saya memang melarang pembuatan kamar kecil khusus di ruang pimpinan. Ini agar pimpinan juga menggunakan kamar kecil umum. Bukan saja agar sesekali bertemu bawahan di forum itu, tapi juga agar bisa ikut mengontrol kebersihan kamar kecil umum.
Ilmu mantiq ternyata banyak membantu saya dalam menjalankan praktik manajemen. Dan saya dengar di kurikulum madrasah aliyah sekarang ini, tidak ada lagi mata pelajaran ilmu mantiq itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar